Napoleon Bonaparte, siapa yang tak kenal? La petit generale
alias jenderal cebol yang kemudian jadi kaisar pertama Perancis yang
berhasil menguasai hampir seluruh Eropa daratan (kecuali Rusia).
Napoleon juga menjadi salah satu ironi terbesar Revolusi Perancis.
Semula revolusi yang diawali dengan penyerbuan penjara Bastille itu
semula bertujuan meruntuhkan kekuasaan absolut maharaja Louis XVI dan
permaisurinya yang superboros : Marie Antoinette. Namun belakangan
revolusi justru dipungkasi dengan pelantikan Napoleon Bonaparte sebagai
kaisar dengan kekuasaan mutlak (absolut).
Napoleon amat dikenal dengan ambisinya menguasai seluruh daratan Eropa,
ambisi yang membawa Perancis pada peperangan terus menerus khususnya
melawan Inggris dan kekaisaran Rusia. Setelah mampu menyapu daratan
Eropa dalam sekejap, serbuannya ke Rusia berantakan akibat oleh cuaca
buruk dan berjangkitnya wabah penyakit, peristiwa yang dipicu oleh
letusan katastrofik Gunung Tambora 1815 di Indonesia. Sempat digulingkan
dari tampuk kekaisaran dan diasingkan ke pulau Elba, belakangan
Napoleon berhasil meloloskan diri dan meraih kekuasaannya kembali,
sebelum kemudian pertempuran besar di Waterloo menghentikan langkahnya
dan menjadikannya tawanan perang hingga akhir hayatnya.
Salah satu monumen peninggalan Napoleon adalah Champ Elysees, jalan raya
sepanjang +/- 2 km yang menjadi poros utama kota Paris. Di sinilah
bangunan-bangunan bersejarah kota Paris berdiri, seperti Place de la
Concorde, monumen Obelisk Luxor, patung Napoleon dan monumen Arc de
Triomphe yang menjadi simbol kemenangan Napoleon. Sehingga Champ Elysees
dikenal juga sebagai poros historis Paris.
Amat mengesankan, jalan lurus yang menjadi poros utama kota Paris ini
ternyata tidak membentang dalam arah mataangin utama (utara-selatan atau
barat-timur) yang umumnya menjadi patokan arah poros tradisional,
meskipun kota Paris dinyatakan sebagai kota tempat melintasnya Garis
Bujur Utama atau Meridian Utama atau Garis Mawar (sebelum keputusan
konferensi meridian 1884 yang menetapkan garis itu melintasi Greenwich
di dekat London, Inggris). Champ Elysees ternyata membentang ke arah
tenggara. Jika dicek dengan Google Earth, poros utama Paris ini
membentang menuju azimuth 115 (catatan : dalam sistem azimuth, maka
utara = 0, timur = 90, selatan = 180 dan barat = 270). Tak ada
penjelasan mengapa Champ Elysees mengarah ke azimuth ini.
Barulah setelah dicek dengan Qibla Locator (http://www.rukyatulhilal.org/qiblalocator),
misteri arah Champ Elysees sedikit terkuak. Champ Elysees ternyata
hampir sejajar dengan arah kiblat untuk kota Paris dan hanya berselisih 5
derajat. Arah kiblat Paris berada pada azimuth 119 dengan jarak pisah
ke Ka’bah sejauh 4.500 km. Kesesuaian ini cukup mengagumkan, mengingat
cukup banyak masjid kuno di seantero Eropa yang arahnya tidak berimpit
dengan arah kiblat. Problem ini pun juga muncul di Indonesia, dimana
antara 3 hingga 4 dari 5 masjid di Indonesia tidak sesuai dengan arah
kiblat setempat.
Mengapa Champ Elysees mengarah ke kiblat? Konon, ini merupakan bagian
dari Napoleon Bonaparte terhadap peradaban Islam. Sejak Napoleon masih
jadi perwira Perancis di Mesir, ia amat terkesan dengan Islam dan
seluk-beluknya meski secara tradisional Perancis adalah musuh bebuyutan
seluruh imperium Islam sejak era Perang Salib. Pengangkatannya menjadi
kaisar Perancis memungkinkannya mengimplementasikan kekagumannya dalam
berbagai aspek, mulai dari penyusunan Code Napoleon hingga tata kota
Paris, termasuk pembangunan Champ Elysees.
Bagaimana sebenarnya konsep arah kiblat? Dan bagaimana pula tata cara
pengukurannya yang baku? Silahkan disimak lebih lanjut dalam buku
setebal 303 + xv halaman yang berjudul “Sang Nabi Pun Berputar : Arah
Kiblat dan Tata Cara Pengukurannya” terbitan Tinta Medina (Tiga
Serangkai Group) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar